Pandanan, Surga Wisata Budaya Sarat Makna Tersembunyi di Klaten, Jawa Tengah - Fakta dan Info Daerah Indonesia

Pandanan, Surga Wisata Budaya Sarat Makna Tersembunyi di Klaten, Jawa Tengah

 Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia


Lagu Jawa Klaten Bersinar

Bersinar-bersinar, iku mengku suroso
Bersih tumrap lingkungan urip sabendinane
Sehat lahir lan sehat batine
Endah wewangunan jro kutho lan deso-deso
Aman krasan mapan murah sandang pangan
Aman mulat sawego tansah waspodo
Rapi tumoto sinawang asri nglam-lami
Papan olahraga ono papan wisata sumadya
Kabudayan pranyoto lambang kapribaden


Rakyate trus ayem tentrem kerto raharjo
Nadyan kapercayane bedo lan werno werno
Nunggal sedyo ngajeni sasomo
Pro tani trus sengkut ngolah lemah bebarengan
Tanem tuwuh ngrebdo tiket pawetune
Palawija lan pari gilir gumanti
Tanduran subuh gemah ripah loh jinawi
Temah adil makmur roto adedasar pancasila
Kondange njaban rangka sinebut Klaten Bersinar

FaktaDaerah.Com- Itulah lagu jawa berjudul Klaten Bersinar yang liriknya sangat menggugah dan menggoyah hati bagi yang mendengar dan mengerti maksudnya. Maknanya dalam. Tentang cerita, doa, dan harapan untuk Kabupaten Klaten dan masyarakatnya. Lagu itu merupakan satu dari puluhan lagu dan tembang jawa yang bisa didendangkan dan dilagukan dengan alat musik dan instrumen karawitan, yang dimainkan anak-anak SD 1 Soropaten.

Desa Soropaten Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah


Soropaten adalah sebuah nama desa yang terletak di Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Desa yang asri, hijau, berpemandangan sangat indah dari berbagai sisi, dan dengan penduduk yang ramah-ramah ini diberi nama pada jaman Pangeran Diponegoro.
Menurut kisahnya, dulu Pangeran Diponegoro, yang memiliki nama asli Bendara Pangeran Harya Dipanegara, memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa pada tahun 1825-1830 untuk melawan pemerintah Hindia Belanda. Begitu dahsyatnya perang ini, dengan wilayah perang yang mencakup seluruh wilayah jawa. Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban paling besar dalam sejarah Indonesia. Pangeran Diponegoro memimpin dengan penuh gagah berani. Untuk itu, ia dijuluki Suropati. Kata “suro” itu artinya “berani”, dan “pati” itu berarti “mati”. Sehingga soropaten berarti berarti berani mati. Menggambarkan Pangeran Diponegoro dan pahlawan-pahlawan yang lain pada jaman dahulu berani mati, berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Hingga kemudian, menurut sejarahnya, desa ini diberi nama Soropaten

Desa Soropaten sendiri memiliki banyak padukuhan, antara lain Dukuh Pandanan, Dukuh Soropaten, Dukuh Nglumbang Besaran, Dukuh Nglumbang Dungik, Dukuh Dagen, Dukuh Bentungan, Dukuh Karanglo, Dukuh Kasihan, Dukuh Dayangan, dan Dukuh Randubowo. Untuk Dukuh yang digunakan sebagai tempat wilayah kerja tim KKN PPM UGM 2017 Unit JTG 58 ialah Dukuh Pandanan, Dukuh Kasihan, Dukuh Nglumbang Dungik Dukuh Dayangan, dan Dukuh Randubowo.

Dukuh Pandanan, dikisahkan sebagai dukuh tertua yang keberadaannya bersamaan dengan berdirinya kerajaan Demak. Dukuh Pandanan tak hanya kaya akan pertaniannya, namun juga kaya akan sejarah pula. Menurut kisahnya, dulunya tempat ini merupakan wilayah yang dipenuhi tanaman pandan, atau dalam bahasa jawa disebut “alas pandan”, sehingga kemudian diberi nama Pandanan. Masyarakat Dukuh Pandanan merupakan masyarakat yang paling kental tradisi jawanya dibandingkan dukuh dukuh yang lain. Tak hanya orang dewasa, bahkan anak-anak pun disana sejak kecil sudah akrab dengan alunan suara gamelan, wayang, tarian reog. Hampir semua anak-anak bisa menggunakan alat musik karawitan, bernyanyi lagu jawa (nembang), dan menari reog ponorogo.

Di Dukuh Pandanan, banyak cagar budaya peninggalan masa lampau yang sarat makna sejarah, namun sayangnya pengelolaannya masih kurang karena keterbatasan dana swadaya masyarakat. Berbagai cagar budaya itu antara lain, makam Panji Malang Sumirang, makam Kyai Karsorejo beserta reliefnya, Tugu waseso, Sendang pancuran, gapura Sri Sidomulyo, Gapuro Drotometo, Gapuro Tinutup, Tugu segitiga, Tugu Paidon, Tugu Macanan, Tugu Kendhulu, Sendang Karangaton, Tugu Kacer dan Tugu Macanan, Pelataran Cokromanggilingan, Bangsal Katentreman, dan Belik Sri Sari Tirto Mulyo.

Cagar budaya yang pertama, yakni gapura masuk area wisata. Gapura tersebut bernama Diroto weto. “Diroto”artinya “gajah”, sedangkan kata“meto” berarti“nesu” yang dalam bahasa indonesia berarti amarah. Artinya, apabila seseorang punya keinginan, harus tetap tenang, tidak boleh terburu buru dan tergesa-gesa. Apapun yang dilakukan untuk memperoleh apa yang diingankan harus tetap tenang, supaya nanti hasilnya baik.

Masuk ke gapura, kemudian disitu terdapat area wisata berupa bangsal cangkriman, Berbagai cagar budaya itu antara lain, makam Panji Malang Sumirang, makam Kyai Karsorejo beserta reliefnya, Tugu waseso, Sendang pancuran, gapura Sri Sidomulyo, Gapuro Drotometo, Gapuro Tinutup, Tugu segitiga, Tugu Paidon, Sendang Karangaton, Pelataran Cokromanggilingan, Bangsal Katentreman, dan tugu baskoro yang baru akan dibangun kembali. Begitu banyak cagar budaya yang berada di area wisata dukuh Pandanan. Namun sayangnya, perawatan cagar budaya –cagar budaya ini masih kurang. Hal tersebut dikarenakan terkendala biaya perawatan, yang sejauh ini hanya berasal dari swadaya masyarakat setempat, sumbangan, dan juga hasil parkir.

Di area wisata tersebut, terdapat tulisan aksara jawa yang berbunyi “titi sonya pangkruwating tri angkoro”. Bila diartikan kata per kata, “titi”berarti teliti, “sonya” berarti sepi, “pangkruwating” artinya bisa mengendalikan, “tri” artinya tiga, dan “angkoro” artinya kemurkaan. Dalam Islam, tiga kemurkaan tersebut disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Allah ‘azza wa jalla akan memurkai kalian pada tiga hal yakni berkata-kata dengan berprasangka atau amarah, banyak meminta-minta, dan banyak membuang-buang harta. Dalam istilah jawanya, tiga kemurkaan itu digambarkan sebagai warna abang, ireng, kuning (warna merah, hitam, kuning).  Maksud dari tulisan tersebut, memberikan ajaran bahwa sebagai manusia, harus dapat mengendalikan segala hawa nafsu dan sifat buruk yang ada dalam diri. Hawa nafsu dan sifat buruk yang ada dalam diri bersumber dari tiga hal tersebut. Apabila dapat mengendalikannya, maka dalam menjalani kehidupan akan lebih terasa ringan.

Tulisan aksara jawa lain yang ada di area wisata adalah “Asiho marang satrumu”. Bila diartikan per kata, “asih” berarti welas asih, maksudnya adalah kasihanilah. “Marang” berarti “kepada”, dan “satrumu” berarti “penyeterumu”. Maksud dari kalimat tersebut adalah kasihanilah musuhmu. Tetap sayangi dan perlakukan seseorang yang telah berbuat jahat, telah mendholimi diri. Sebagai manusia, harus banyak bersabar dan tidak boleh menjadi pendendam. Apapun yang dilakukan orang lain, sekalipun itu menyikiti, hendaknya tetap bersabar dan tetap berbuat baik kepada yang telah menyakiti. Sekalipun itu pahit, namun begitulah yang memang seharusnya dilakukan. Musuh bukan hanya berarti orang lain. Gejolak buruk yang ada di dalam hati juga dapat diartikan sebagai musuh. Untuk itu, setiap orang hendaknya harus bisa mengatasi gejolak dalam diri antara hati nurani yang baik dan sisi hati yang buruk. Ada pepatah jawa yang menyebutkan, “Ojo gething keburu sengit”. Maksudnya, jangan karena disakiti sedikit, langsung banyak marah, dan langsung berubah menjadi benci. Padahal hanya karena masalah yang sepele yang sebenarnya bisa langsung diselesaikan.    

Kemudian, terdapat dua pancuran di area wisata. Di sebelah barat dan sebelah timur. Pancuran yang sebelah timur bernama Her Sendang Pancuran Sri Sida Mulya. Bila diartikan per kata, “her” berarti “banyu” atau air. Kemudian “sendang” berarti wadah, pancuran berarti air yang mancur dari tanah, “sri” berarti “rejeki”, “sida” berarti “mbuktekke” atau jadi dilaksanakan, dan “mulyo” berarti “kamulyan” atau  kemuliaan. Maksudnya, adalah air yang memancur dari tanah yang ada di daerah ini merupakan rezeki yang diberikan Allah sebagai bukti bahwa Allah memberikan kemuliaan di daerah ini dengan memberikan air yang tidak pernah habis dan sebagai sumber kehidupan masyarakat di sekitar sini. Untuk pancuran yang berada di sebelah barat bernama Pancuran Sri Sidodadi. Masih berkaitan artinya dengan pancuran Sri Sidamulyo, “Sidodadi” berarti benar-benar jadi terlaksana, maksudnya segala kepentingan dan urusan kehidupan yang ada, sudah terlaksana, berkat adanya sumber mata air yang ada di situ.

Sendang Pancuran Sri Sida Mulya, pancuran yang berada di timur, memiliki nama yang sama dengan bangsal utama yang ada di area masuk wisata. Bangsal ini pun memiliki sejarahnya tersendiri. Bangsal utama ini diartikan sebagai papan ketentreman. Sebagai tempat orang mencari ketentraman, tempat orang orang berkumpul untuk membahas sesuatu yang penting untuk segera dilaksanakan, maupun sebagai tempat pentas pertunjukan wayang, reog dan lain sebagainya yang diharapkan dapat memberikan ketentraman bagi siapapun yang ada di dalamnya. Selain bangsal Sri Sidamulya yang merupakan bangsal utama dengan ukuran cukup besar, disana juga terdapat bangsal yang kecil, yang letaknya di utara, sebelah bawah area makam. Bangsal yang kecil tersebut bernama “Bangsal Cangkriman”, bangsal tersebut konon katanya dulu digunakan untuk  buat beradu opini, pendapat, dan diskusi antara Pakubuwono X dan Kiai Karsorejo mengenai berbagai hal, termasuk tentang kemerdekaan Indonesia.
Kemudian cagar budaya yang lain, yang menjadikan tempat ini lebih istimewa adalah Tugu waseso, yang merupakan monumen dari kisah pertemuan antara Ki Karsoredjo dengan Ir. Soekarno. Dikisahkan, pertemuan itu terjadi antara tahun 1934-1935. Tugu Waseso berasal dari Tugu Wasae Negoro yang berarti Tugu Penguasa Negara, karena pada waktu itu Ir. Soekarno meminta izin kepada Pakubuwono X, selaku raja mataram solo untuk membantu melawan penjajah belanda untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Kemudian, Pakubuwono X memerintahkan Ir. Soekarno untuk meminta doa restu kepada Ki Karsoredjo di dukuh Pandanan, Desa Soropaten, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Diceritakan, kala itu Ir. Soekarno mencari kiai Karsoredjo ke rumahnya, namun sang Kiai tidak ada di rumah. Dicarilah ke sawah, dan bertemulah dua orang hebat tersebut di tengah sawah. Di tempat bertemunya kedua orang hebat itulah kemudian dibangun Tugu Waseso, dengan semangat gotong royong oleh seluruh warga pandana, kerabat dekat, dan masyarakat pada umumnya, beserta bupati, camat dan anggota kelurahan Soropaten sebagai simbolik peringatan bagi sejarah Indonesia.
Ki Karsoredjo dan Ir. Soekarno merupakan dua tokoh besar, yakni sang proklamartor kemerdekaan sekaligus presiden pertama Indonesia dan tokoh masyarakat dukuh Pandanan. Pada saat itu, keduanya mempunyai peran penting untuk mewujudkan kemerdekaan Negara Indonesia. Monumen berbentuk Tugu dipilih karena melambangkan jati diri manusia. Tugu yang mempunyai bentuk tegak lurus dan bulat, artinya manusia harus mempunyai kead yang bulat. Bangunan tugu waseso mempunyai satu pintu pendek dengan diri khas orang jawa, bila memasuki ruangan hendaknya merunduk sebagai tanda penghormanatan. Ventilasi atau lubang pada tugu waseso berjumlah sembilan, yang mengandung makna “suryo” yang berarti matahari, “condro” yang berarti bulan, “kartika” yang berarti bintang, bumi, angin, “geni” yang berarti api, air, roh suci dan “kahanan” atau suasana. Kesembilan hal tersebut merupakan hal hal yang melambangkan kehidupan. 
Di dalam tugu waseso, terdapat tangga naik dengan jumlah lima buah anak tangga yang melambangkan bahwa hati manusia mempunyai lima tingkatan, yakni amarah, lawwamah, mulhammah, sofiah, dan muthmainnah. Tinggi bangunan Tugu Waseso adalah 12 meter dan mempunyai lebar 4 meter. Ketinggian tersebut melambangkan, bila seseorang telah mencapai puncak atas, jangan lupa untuk menoleh ke bawah, memberi pelajaran supaya kita tidak sombong setelah mencapai kesuksesan.

Tidak hanya terdapat tugu waseso yang besar, di sana juga terdapat tugu yang kecil-kecil sejumlah 3 buah. Tugu-tugu tersebut menggambarkan dandang, kendhil dan kwali, yang ketiganya merupakan sebutan tempat makanan dan minuman. Yang membedakan adalah ukurannya. Dandang adalah yang berukuran sedang, biasanya digunakan untuk menanak nasi, menggambarkan peralihan antara miskin dan kaya. Kendhil adalah yang berukuran kecil, yang menggambarkan rakyat miskin. Sedangkan kwali, adalah yang paling besar, yang biasa digunakan untuk menaruh lauk makanan. Adanya tiga tugu dengan lambang masing-masing, menggambarkan doa dan harapan, agar semua masyarakat Dukuh Pandanan yang masih berkutat pada kemiskinan (kendhil), agar segera dicukupkan kekayaannya (ndang dijadikan kwali).
Selain itu, ada pula menoro baskoro, yang konon katanya dulu pernah berdiri di area itu. Namun, kini sudah tinggal pondasinya saja. Menurut kisahnya, dulu Menoro Baskoro dibangun sebagai tempat beribadah Sultan Pakubowono. Menoro Baskoro dibuat dari bebatuan yang besar. Karena di dekat Menoro terdapat sungai yang harus ditanggul dan ditalud, yang membutuhkan bebatuan besar, sedangkan tidak ada bebatuan yang dapat digunakan, maka Menoro Baskoro dirobohkan, dan diambil bebuatuannya untuk menanggul dan menalud sungai yang ada disitu. Saat ini, menoro baskoro baru akan dibangun kembali. Pembangunan kembali, akan dimulai pada Bulan Agustus 2017 ini.
Tak hanya di kompleks area wisata tersebut, di dekat gerbang terluar dukuh Pandanan,di sebelah timur, terdapat 2 patung macan yang menyambut siapapun yang masuk ke dukuh Pandanan. Macan pandanan ini dibangun oleh seseorang yang bernama Tunjung Seta. Dibangun patung macan berjumlah dua buah, yang dalam bahasa jawa disebut “macanan”,yang berarti pula bacaan, yang dimaksudkan supaya siapapun yang memasuki dukuh Pandanan, harus bisa menyesuaikan, harus bisa membaca situasi dan kondisi  yang ada situ. Selain itu, ternyata kata “Tunjung Seta”sendiri juga memiliki arti. Tunjung berarti dijunjung, ditinggikan. Seta berarti suci. Maksudnya, apabila seseorang ingin dijunjung, ditinggikan, harus memiliki hati yang putih terlebih dahulu. Hati yang suci. Supaya nantinya ketika sudah berada diatas, tidak melupakan asal muasalnya dulu sepertinya apa, tidak melupakan semua yang ada dibawah, yang membuatnya menjadi ada di posisi tinggi seperti sekarang ini. 

Di area terluar dukuh Pandanan bagian barat, juga terdapat patung “gendulu”yang berupa batu. Gendulu berasal dari kata “gendulak gendulik” yang artinya“gojak gajek” atau ragu-ragu. Maknanya, apabila mengambil keputusan, atau akan melakukan sesuatu, hendaknya harus dipikir masak-masak sehingga langkah yang diambil tepat, dan diambil dengan tidak ragu ragu. Hal ini dimaksudkan bahwa seseorang tidak boleh menjadi orang yang penuh keragu-raguan. Segala sesuatu harus dijalani dengan jiwa yang mantap.  Kalau memang iya ya katakan iya, kalau memang tidak ya katakan tidak.
Selain semua bangunan dengan segala makna filosofis dan nasihat yang terkandung didalamnya, masyarakat Dukuh Pandanan Desa Soropaten kecamatan Karanganom kabupaten Klaten juga sarat akan budaya jawa yang lain. Mereka menggelar acara Tradisi Kirab Adat Budaya Suro setiap tahunnya pada bulan Suro dan wayangan pada setiap malam Jumat pon. Kirab adat budaya pada Bulan Suro, dimaksudkan sebagai bentuk syukur kepada Tuhan yang telah memberikan keselamatan dan kesejahteraan wargadukuh Pandanan, sekaligus untuk melestarikan Budaya Jawa.
Acara tradisi Adat budaya Suro di Pandanan, berawal karena adanya wabah penyakit PES pada tahun 1921-1926 Masehi yang sempat merenggut 80 orang korban jiwa meninggal. Menurut ceritanya, pada kala itu, apabila seseorang mengalami sakit dipagi hari, maka kemudian akan meninggal di sore harinya. Begitu pula bila sakit diwaktu sore, maka pagi harinya akan meninggal dunia. Dalam sejarahnya, untuk mengatasi hal itu, Eyang Kiai Karsaredja yang saat itu dituakan, melakukan ritual dan mohon petunjuk Allah SWT agar tempat tinggalnya dapat terbebas dari bencana. Berkat upaya tersebut, dikisahkan, bahwa kemudian Allah SWT memberikan ridha dan mengabulkan permohonan hambanya sehingga musibah segera dapat berhenti dan tidak muncul korban jiwa kembali. Untuk mewujudkan rasa syukur tersebut, kemudian warga mulai tahun 1926 -1935  menggelar acara syukur antara lain menggelar pentas pertunjukan wayang kulit semalam suntuk dengan Lakon Barata Yudha Jaya Binangun dan lain sebaganya. Tradisi menggelar wayang kulit tersebut terus dilakukan secara rutin oleh warga dukuh Pandanan pada setiap malam Jum’at pon.
Kirab budaya Bumi Manunggal merupakan tradisi turun temurun masyarakat setempat. Selain dalam rangka memperingati tahun baru Islam, tradisi ini sekaligus untuk mengenang (Alm) Kyai Karsorejo, seorang tokoh yang semasa hidupnya telah berjasa ikut berjuang mengusir penjajah Belanda. Masyarakat setempat sangat menghormati sosok (Alm) Kyai Karsorejo. Acara tradisi Kirab budaya Bumi Manunggal bulan Suro yang digelar setiap tahun, pada tanggal 8 Suro penanggalan Jawa, ini menampilkan puluhan kelompok pengibar bendera, regu Drum Band dan Marching Band dari sekolah TK, SD, SMP dan SMA di wilayah Klaten. Disamping itu juga prajurit bersenjata dari keraton, kelompok masyarakat, Paguyuban Kawula Surakarta, kelompok Wayang Orang dan lain sebagainya juga turut meramaikan. Ada pula kirab empat gunungan hasil bumi yang dipersembahkan oleh warga sekitar.
Sore harinya, ditampilkan kelompok Jathilan Suro Theleng dari Lereng Merapi Boyolali, yang kemudian diikuti pagelaran wayang kulit semalam suntuk dengan lakon Barata Yudha Jaya Binangun. Salah satu tujuan digelarnya acara tradisi adat budaya Suro ini untuk tetap nguri-uri warisan leluhur yang adiluhung, serta agar desa ini bisa diberikan keberkahan dari Allah SWT.
Baca Juga: 
  1. Temanggung dan 7 Fakta Dareah yang Perlu Kamu Ketahui
  2. [Desa Wonorejo]- Sumbergempol dan Beberapa Fakta yang Harus Kau Baca!
  3. Tempat-Tempat Wisata di Lumajang [Terlengkap]
  4. [Gunung Lawu] dan Pesona Grojogan Sewu, yang Harus Kamu Kunjungi.
  5. Desa Saradan Kecamatan Pemalang dan Penjelasan yang Harus Kamu Pahami!
Iring-iringan lima ekor kebo (kerbau) bule, berjalan pelan menyusuri jalan perkampungan Dukuh Pandanan. Kerbau yang digunakan, merupakan keturunan kerbau Kyai Slamet, yang merupakan kerbau Kraton Surakarta. Kerbau yang berjlan,  dikawal oleh prajurit Kraton Surakarta. Ada puluhan kelompok seni yang turut serta dalam kirab budaya tersebut. Mereka merupakan perwakilan dari beberapa desa dan sejumlah instansi pemerintah. Beberapa dari kelompok seni juga mengarak gunungan yang terbuat dari berbagai macam hasil bumi. Tradisi kirab budaya berkeliling kampung ini digelar setiap tahun saat bulan Suro, yang dalam Islam dikenal dengan bulan Muharram.
Sepanjang perjalanan kirab ini dielu-elukan masyarakat yang sudah berbaris di pinggir-pinggir jalan untuk menyaksikan acara yang berlangsung setahun sekali tersebut. Kirab biasanya dimulai dari bangsal Sri Sidamulya yang merupakan bangsal utama,  lalu berkeliling jalan-jalan seluruh kampung setempat. Urutan kirab paling depan adalah pejabat berkuda, diikuti barisan payung yang menggambarkan kereta kencana. Barisan berikutnya oleh trah Karsorejo berpakaian adat Jawa, kerabat kraton Surakarta Hadiningrat, dan panitia berpakaian adat Jawa, yang kemudian diikuti paduan suara pria Pandanan, barisan ibu-ibu, paduan suara perempuan berkebaya, paduan suara anak-anak berpakaian Pramuka, paguyuban-paguyuban budaya se-Klaten, perangkat desa, hingga kelompok tani dan para remaja. 

Potensi wisata yang ada di dukuh Pandanan tidak diragukan lagi. Dengan cagar budaya fisik yang dapat dijadikan sebagai pbjek wisata, di Dukuh Pandanan juga ada pagelaran wayang yang dilaksanakan setiap malam Jum’at Pon di Bangsal Sri Sidamulya. Pagelaran wayang ini sangat terkenal hingga membuat para dalang profesional mengantri untuk dapat melakukan pagelaran wayang di Pandanan. Selain itu, setiap setahun sekali pada bulan Sura ada acara Kirab Adat Budaya Soropaten yang dilaksanakan di Pandanan. Acara kirab terdiri atas pagelaran tari tradisional sebagai pembuka acara, pawai dengan membawa gunungan, diikuti dengan pentas reog dan pagelaran wayang, Acara kirab adat budaya adalah acara tahunan yang dilaksanakan pada Bulan Sura di Desa Soropaten. Acara kirab adat budaya terdiri atas pagelaran tari, pawai, reog, dan wayang. Kirab budaya ini sudah terkenal sampai di desa, kecamatan, bahkan kabupaten-kabupaten lain, sehingga ribuan warga pasti memadati area dukuh Pandanan ketika ada Kirab Budaya. Untuk tahun 2017 ini, kirab dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 24 September 2017 yang lalu.

Dengan segala potensi yang dimiliki, tidak mustahil bila nantinya peningkatan anggaran dana desa yang dikucurkan pemerintah dapat membuat Desa Soropaten, terkhusus di Dukuh Pandanan, dapat ramai dikunjungi wisatawan, sehingga potensi yang dimiliki desa dapat dikelola secara efektif dan maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah satu desa yang menjadi desa percontohan adalah desa tetangga, yang letaknya tidak jauh dari Desa Soropaten, yakni Desa Ponggok. Desa Ponggok telah berhasil mengelola dana desa lewa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), hingga menghasilkan 700 juta rupiah per bulan-nya. Seperti diketahui, besaran dana desa dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada 2015, dana desa yang telah disalurkan adalah sebesar Rp 20,7 triliun, lalu pada 2016 sebesar Rp 46,9 triliun, dan meningkat menjadi Rp 60 triliun pada 2017. Dana ini tentu akan menjadi kekuatan bagi desa tersebut nantinya bila dikelola secara tepat.
Kreativitas masyarakat dan aparat desa di Desa Ponggok, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah melalui pengelolaan obyek wisata Umbul Ponggok mampu meningkatkan pendapatan desa dari Rp 5 juta per tahun menjadi Rp 6,5 miliar per tahun. Dahulu umbul ponggok hanya merupakan pemandian tua yang tidak terurus, namun kemudian dibenahi dengan konsep foto di dalam air sehingga para pengunjung bisa berenang sambil selfie di dalam air. Umbul Ponggok itu kian terkenal setelah foto-fotonya tersebar ke media sosial, sehingga saat ini menjadi salah satu destinasi menarik di Klaten dan mampu mengundang wisatawan dari berbagai daerah.
Kunci dari keberhasilan pemaksimalan potensi desa, tidak hanya dana desanya, namun juga kekompakan masyarakatnya. Keberhasilan Desa Ponggok sebagai Desa Wisata, tentu tidak terlepas dari visi yang dibangun seluruh masyarakat desa bersama perangkat desa. Mereka bersama-sama membangun perencanaan bersama mulai dari tata ruang, BUMDes, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), dan pemanfaatan teknologi informasi untuk menunjang produktifitas masyarakat desa. Dana Desa bisa meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan publik di desa.
Dengan segenap potensi yang telah dimiliki, dengan anak-anak yang lihai akan menari jawa, bernyanyi lagu bahasa jawa, serta bermain alat musik karawitan, tidak menutup kemungkinan Desa Soropaten akan menjadi seperti Desa Ponggok kelak di kemudian hari. Apalagi, Desa Soropaten merupakan desa yang dilewati oleh wisatawan bila akan menuju ke Desa Ponggok.
Akan menjadi ide cemerlang bila semua potensi wisata yang ada di Desa Soropaten, dikemas sedemikian rupa sehingga tercipta alur wisata budaya yang apik di Desa Soropaten, khususnya di Dukuh Pandanan. Wisata Budaya di Desa Soropaten dapat menjadi wisata pembuka bagi wisatawan yang akan berkunjung ke Desa Ponggok. Selain menguntungkan bagi masyarakat Soropaten sendiri, tentu hal ini akan menarik wisatawan, karena istilahnya “sambil menyelam minum air”. Dalam sekali perjalanan, wisatawan bisa mendapatkan wisata air, juga sekaligus wisata budaya jawa.
Pembuatan sovenir, bergambar cagar-cagar budaya yang ada di Dukuh Pandanan juga bisa menjadi peluang ketika nantinya potensi wisata sudah dimaksimalkan dan dapat menarik banyak wisatawan. Sovenir yang dapat dibuat, misalnya gantungan kunci, lukisan, dan lain sebagainya. Budaya akan menjadi lebih lestari bila sekaligus bernilai ekonomi. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang cerdas, yang selalu ingin tahu dan ingin mengenal budaya-budaya daerah lain yang ada di Indonesia. Wisata budaya menjadi salah satu ide yang cukup menjanjikan, mengingat begitu banyak potensi yang dimiliki oleh masyarakat dukuh Pandanan, Desa Soropaten, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Namun untuk melangkah dan mencapai itu semua, diperlukan sinergisitas yang kuat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, perangkat Desa, perangkat Dusun, tokoh masyarakat. Sehingga setelah sinergi itu terbentuk, barulah bersama-sama menggebrak semangat masyarakat untuk menyatukan visi, misi, dan pandangan mengenai potensi wisata, lalu bersama-sama mempersiapkan Desa Wisata Budaya. Bila kebersamaan dan kekompakan sudah terjalin dengan kuat dalam masyarakatnya, maka apapun nantinya tantangan yang dihadapi,akan lebih mudah untuk dilalui.

Demikinalah tulisan mengenai Pandanan, Surga Wisata Budaya Sarat Makna Tersembunyi di Klaten, Jawa Tengah  yang ditulis oleh Rifda Latifa, Mahasiswi Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta. Semoga bisa memberi manafaat dan informasi yang mendalam kepada setiap pembaca. Trimakasih, baca juga tulisan lainnya;

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pandanan, Surga Wisata Budaya Sarat Makna Tersembunyi di Klaten, Jawa Tengah "

Posting Komentar