Desa Purwahamba, Kecamatan Suradadi [Tegal] dan Bahasannnya yang Dapat Kamu Cerna!

 Desa Purwahamba, Kecamatan Suradadi, Kabupaten Tegal


FaktaDaerah.Com- Fakta daerah, khususnya Desa Purwahamba, Kecamatan Suradadi, Kabupaten Tegal ini ditulis oleh Umi Erniasih tenang bahasannya yang begitu mendalam, semoga bisa menambah wawasan dan pengetahuan bagi setiap pembaca.
Baca Juga: [Gunung Lawu] dan Pesona Grojogan Sewu, yang Harus Kamu Kunjungi.

Desa Purwahamba, Kecamatan Suradadi


Desa Purwahamba merupakan salah satu desa di pesisir pantai utara pulau Jawa yang masuk kawasan Kabupaten Tegal. Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Desa) Desa Purwahamba Tahun 2011-2015 Luas Desa Purwahamba adalah 502,472 Ha, dari total keseluruhan itu 365,811 Ha merupakan area persawahan, dan hanya 28 Ha merupakan pemukiman warga.
 

Moyoritas Penduduk di Desa Purwahamba


Dari data itu bisa diketahui bahwa masyoritas masyarakat Desa Purwahamba adalah sebagai petani. Jumlah mayoritas penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani bisa dilihat juga di RPJM-Desa tersebut yaitu dari total jumlah penduduk 66 % merupakan petani (pemilik tanah dan buruh) yaitu sebesar 5.158 orang. Mereka mampu hidup dari hasil pertanian dengan dukungan lahan persawahan yang sangat subur, dan terbukti bumi Purwahamba sudah sangat besar berkontribusi pada penghidupan masyarakat dari dulu kala.
 

Keadaan Fisik Desa Purwahamba, Kecamatan Suradadi


Akan tetapi keadaan fisik Desa Puwahamba telah mengalami banyak perubahan. Sebelum memasuki tahun milenium 2000, mayoritas penduduk memang bermata pencaharian sebagai petani. Tapi memasuki tahun milenium kebanyakan pemuda (generasi penerus) memilih untuk meninggalkan ladang orang tua mereka dan memilih untuk berprofesi lain, meninggalkan profesi petani yang telah menghidupi para pendahulu mereka sampai bisa beranak pinang.
 
Sebagian besar profesi yang dipilih pemuda Desa Purwahamba adalah nelayan, dan sebagian kecil merantau ke ibu kota. Pada babak ini transmisi budaya dari generasi satu ke generasi yang lain akan terputus. Bisa diprediksikan ke depan, nanti akan ada istilah pada saat transmisi budaya itu benar-benar terjadi yaitu “anak petani yang tidak bisa bertani”. Dan kebudayaan akan bergeser ke arah Urban Life.
 
Sungguh ironis ketika anak yang lahir dari darah seorang petani tidak tahu lagi cara bertani, tidak tahu lagi cara mengolah lahan nenek moyang mereka agar menghasilkan penghidupan. Mereka memilih untuk meninggalkan memori keindahan alam mereka, membiarkan orang tua mereka mati terkubur dengan tongkat estafet yang masih digenggam ditangan kanan yang belum sempat di berikan kepada pelari setelahnya yaitu anak-anaknya. Pada akhirnya permainan pun akan segera berakhir, Negara agraris akan berubah ke arah masing masing pemuda itu pergi.
 
Tetapi kalau kita melihat itu sebagai kekeliruan maka letak kesalahan bukan sepenuhnya pada para pemuda sebagai generasi penerus bangsa yang tidak mau meneruskan kebudayaan bangsanya, khususnya kebudayaan bercocok tanam tersebut.
 
Jika kita melihat dan merasakan gejolak yang terjadi di masyarakat maka akan kita temukan permasalah yang sesungguhnya. Bukan tanpa alasan para pemuda enggan untuk meneruskan profesi orang tua mereka. Mereka punya berbagai alasan yang akan disampaikan dari hati mereka untuk menjawab semua permasalahan itu.
 
Diantara sekian banyak alasan mereka penulis bisa menyimpulan empat alasan pokok penyebab mereka enggan untuk bertani meneruskan profesi orang tua. Yang pertama karena nominal jumlah penghasilan. Tidak bisa disalahkan ketika para pemuda menginginkan penghasilan yang besar dari kerja keras mereka, bahkan itu sangat dianjurkan agar tingkat kesejahteraan mereka bisa terangkat. Dan ketika para pemuda bermimpi dan mengharapkan hal seperti itu lahan pertanian orang tua mereka tidak bisa menjawabnya. Bahkan bukti nyata kesejahteraan yang bisa ditunjukan oleh orang tua mereka sebagai bertani tidak ada.
 
Mereka melihat orang tua mereka tetap miskin walaupun bertani sepanjang tahun. Setiap hari pergi ke ladang dan membanting tulang hidup mereka tetap sama tidak ada peningkatan secara ekonomi. Hal itu sangat dirasakan oleh para pemuda di Desa Purwahamba. Sehingga mindset pemuda, bahkan disadari oleh para orang tua, sekarang telah berubah. Mereka memandang pertanian tidak bisa lagi memberikan kepastian penghidupan apalagi peningkatan kesejahteraan. Sehingga hampir seluruh pemuda Desa Purwahamba memilih untuk merantau mencari penghidupan selain bertani. Data kesejahteraan masyarakat Desa Purwahamba bisa dilihat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Desa) Desa Purwahamba Tahun 2011-2015 sebagai berikut dari jumlah keseluruhan 1.744 Kepala Keluarga 46,8 % adalah masuk kategori miskin, 11,9 % masuk pra sejahtera, 19 % masuk sedang, dan 10,5 % masuk keluarga yang sudah berkecukupan atau kaya. Data itu secara jelas menggambarkan betapa sektor pertanian tidak banyak memberikan kesejahteraan kepada masyarakat Purwahamba yang mayoritas menggantungkan hidup kepadanya.
 
Alasan kedua karena pendidikan. Diakui atau tidak pendidikan di bangku sekolah, dari sekolah dasar sampai tingkat menengah atas, hampir 95 % yang diajarkan tidak mengajarkan cara menjadi petani yang sukses, atau sederhanya tidak memberikan pemahaman kepada sisiwa untuk menjadi atau bercita cita menjadi petani. Hal ini bisa dibuktikan dengan menanyakan satu persatu kepada siswa SD – SMA apa yang mereka cita-citakan di masa depan. Akan sangat sulit menemukan siswa yang merangkul cita-cita ingin menjadi petani sukses. Hal itu karena gambaran-gambaran orang sukses yang ada dibenak para peserta didik, yang tentunya ditanam oleh pengajar, tidak ada sosok petani di dalamnya. Contohnya mereka hanya mengenal ingin menjadi pilot, ingin menjadi polisi, ingin menjadi perancang busana, dan lain sebagainya. Sosok petani tidak masuk menjadi tokoh yang oleh para pengajar dimasukan menjadi salah satu orang sukses yang ditanam di benak para peserta didik. Sehingga wajar jika arah hidup peserta didik setelah itu ( SMA ) mayoritas ke arah selain bertani, mereka enggan untuk mencari ilmu tentang pertanian.
 
Ketiga karena iklim. Contoh sederhana saja ditahun 2016 sekarang ini musim hujan terlambat datang, dan sekarang sudah memasuki bulan Februari sedangkan intensitas hujan masih sangat jarang turun. Kalau dalam keadaan normal seharusnya hujan sudah turun hampir setiap hari sejak bulan kemarin, tapi yang terjadi adalah hujan seakan enggan untuk turun. Satu dua kali turun hujan dalam seminggu bahkan kadang tidak turun sama sekali. Sehingga keadaan sekarang tidak ubahnya seperti masih musim kemarau. Hal itu mengakibatkan pasokan air untuk area sawah di Desa Purwahamba tidak ada. Sehingga sampai saat ini, masih banyak petani yang belum mulai menggarap sawahnya karena tidak ada pasokan air. Beruntung bagi mereka yang sawahnya di dekat bantaran Kali Cacaban sehingga bisa memulai menggarap sawah dengan bantuan air dari sungai tersebut, tentunya dengan bantuan pompa diesel. Ironis memang keadaan iklim sekarang sehingga lahan pertanian tidak lagi menguntungkan dan tidak lagi bisa diandalkan untuk sumber pemenuhan kebutuhan masyarakat.
 
Keempat karena masyarakat merasa tidak didukung oleh sistem pasar yang ada. Entah siapa pihak yang perlu bertanggung jawab atas semua sistem yang terjadi ini. Masyarakat merasa bertani tidak lagi menguntungkan karena biaya, tenaga, dan waktu yang dikeluarkan tidak sebanding lagi dengan hasil yang diperoleh. Tidak jarang mereka harus mengeluarkan kost tinggi untuk bibit, pupuk, biaya pengairan sawah kalau hujan tidak turun, akan tetapi ketika waktunya panen hasil bumi mereka dihargai murah oleh sistem pasar. Walaupun sekarang pemerintah memberikan program bibit dan pupuk gratis untuk beberapa jenis tanaman tapi hal itu tidak bisa menolong persepsi buruk yang telah terbentuk di pikiran masyarakat bahwa pertanian sekarang tidak lagi menjanjikan.
 
Keempat alasan itu seakan membuat kesepakatan tanpa kata antara generasi tua dan generasi muda bahwa pertanian sekarang tidak lagi bisa diandalkan. Sehingga pemuda tanpa dikomando akan secara otomatis meninggalkan desa mereka ketika sudah memasuki usia kerja, dan orang tua tidak akan menghalangi bahkan sangat rela anak mereka mencari penghidupan yang lebih baik. Dan inilah saat tongkat estafet pertanian sudah tidak lagi berpindah tangan dan game pun berakhir.
 
Sesuai tema, dari keempat alasan itu penulis akan mengulas alasan yang pertama kenapa tanah nenek moyang kita, lahan pertanian, tidak lagi bisa diandalkan sebagai tiang ekonomi keluarga. Sesuai pengamatan penulis memang memasuki tahun milenium sangat banyak perubahan secara fisik yang terjadi di lahan pertanian di Desa Purwahamba. Tanah yang dulu subur menjadi tanah yang padat dan kering. Tingkat kesuburan tanah sudah sangat turun dengan beberapa indikator yang menunjukan angka negatif
 
Tentunya kita tidak bisa langsung menganggap bahwa tanah itu sudah tidak subur lagi, kita harus memberikan bukti, minimal melakukan pengetesan terhadap kesuburan tanah itu. Menurut FAO Guideline (2000) indikator kesehatan tanah ada tiga kriteria di tingkat plot yaitu yang berhubungan dengan kegemburan tanah, ketersedian hara, dan keutuhan matriks tanah.

Keriteria Indikator Kualititatif dan Kuantitatif


Kriteria
Indikator kualitatif
Indikator kuantitatif
1
Kegemburan tanah
1.kepadatan tanah
Bobot isi tanah, porositas tanah, infiltrasi tanah
2.Sebaran akar
Kedalaman akar efektif
3. warna tanah terang dan kering
BOT Rendah
4. ketebalan seresah
Berat masa seresah
5.banyak kascing
Populasi dan biomasa cacing
2
Keseimbangan hara
6.Export P tahunan sebagai fraksi dari stock P yang ada
Perubahan stock hara P
7.kenampakan fisik tanaman, gejala defisiensi/keracunan
Konsentrasi hara
3
Keutuhan matrix tanah
8. erosi
Kehilangan tanah, penutup permukaan
9.lonsor tebing
Kehilangan tanah


Keadaan tanah di area persawahaan Desa Purwahamba sudah sangat ironis. Secara fisik bisa dilihat bahwa kepadatan tanah sekarang sudah sangat tinggi. Tanah sudah tidak gembur lagi, hal itu bisa digambarkan sebagai berikut. Sudah tidak bisa dipungkiri bahwa penggunaan pupuk kimia oleh para petani sungguh sangat masif dilakukan. Petani akan selalu menggunakan pupuk kimia setiap kali mengolah sawah mereka. Memang secara instan pupuk kimia bisa menyediakan hara yang bisa langsung di serap tanaman sehingga hasilnya bisa langsung dilihat. Akan tetapi sesuai riset yang dilakukan oleh para ahli bahwa zat hara kimia yang dihasilkan pupuk kimia pasti tidak 100 % diserap oleh tanaman, sehingga masih meninggalkan sisa/ residu. Residu pupuk kimia yang tertinggal ditanah ketika bercampur dengan air akan merubah fisik layaknya lem atau semen yang mengikat zat tanah di sekitarnya. Hal itu yang menjadikan tanah kehilangan kegemburanya dan terasa padat. Kepadatan itu akan sangat terlihat saat tanah mulai akan mengering. Saat itu bisa dilihat bahwa tanah di Desa Purwahamba sudah tidak lagi gembur dan lebih cocok disebut keras.
 
Kemudian indikator lain dari tabel diatas yang bisa dilihat secara fisik adalah jumlah kascing yang semakin langka ditemukan. Padahal cacing merupakan bio-indikator kesuburan tanah, petani dan para ahli sudah yakin bahwa cacing merupakan indikator kesehatan tanah. Pendapat tersebut diperkuat oleh Jongmans et al. (2003) bahwa kualitas pori mikro dan makro tanah, tingkat kepadatan tanah , dekalsifikasi dan dinamika bahan organik ditentukan oleh aktifitas cacing tanah. Sedangkan yang terjadi sekarang adalah kascing/casting atau kotoran cacing tanah sudah sangat langka ditemukan. Hal itu bisa disimpulkan bahwa populasi cacing tanah di area tersebut sudah menurun.
 
Alasan kenapa terjadi hal itu bisa dijelaskan sebagai berikut. Yang pertama masih berkaitan dengan kegemburan tanah seperti yang telah dijelaskan diatas. Karena tanah tempat lingkungan cacing tanah sudah tidak lagi kondusif karena sudah demikian padat. Maka secara otomatis mengurangi populasi cacing tanah. Alasan kedua bisa digambarkan sebagai berikut, pengggunaan pupuk kimia yang mengandung nitrat dan fosfat akan mencampurkan kedua unsur tersebut ke dalam kehidupan akuatik di area persawahan. Padahal kedua unsur tersebut adalah zat racun bagi kehidupan akuatik. Dengan meningkatnya intensitas penggunaan pupuk kimia maka lingkungan akuatik yang dihuni cacing tanah sudah tidak lagi mendukung kehidupan cacing tersebut sehingga akan menyebabkan kematian cacing tanah, bahkan fauna akuatik lain di tempat tersebut. Hal itu akan mengurangi kadar oksigen dalam tanah, sehingga kemampuan tanah untuk menghasilkan makanan untuk tanaman terus menurun dan pada akhirnya tanah akan selalu bergantung dengan pupuk kimia tersebut. Hal itu akan berputar terus menjadi lingkaran setan yang akan sangat merugikan petani.
 
Padahal selain kedua unsur tersebut, pupuk kimia masih menghasilkan beberapa unsur lagi yang akan merusak lingkungan seperti metana, karbon dioksida, ammonia, dan nitrogen. Beberapa unsur itulah akan bisa terakumulasi dan pada saatnya bisa menyebabkan pemanasan global dan perubahan cuaca.
 
Memang kalau kita membicarakan hal ini maka akan sulit menemukan jalan keluar. Masyarakat yang menjadikan bertani sebagai mata pencaharian utama akan selalu berharap mendapatkan hasil setiap kali bercocok tanam. Padahal kalau merujuk Permentan No.2 Tahun 2006 maka pupuk organik bisa menjadikan solusi untuk memperbaiki kondisi tanah agar kembali sehat. Akan tetapi efek yang akan diberikan pupuk organik akan memakan waktu yang lumayan lama untuk menunjukan hasilnya sedangkan masyarakat petani tidak punya waktu untuk menunggu selama itu. Karena tuntukan kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga membutuhkan uang hasil panen dengan segera. Gambaran itu yang menjadikan para pemuda Desa Purwahamba tidak ingin melanjutkan profesi orang tua mereka sebagai petani.
 
Tentunya hal ini tidak bisa disepelekan dan dianggap sebelah mata. Karena sangat ironis ketika Negara Indonesia yang terkenal dengan Negara agraris harus terus menerus import hasil bumi dari Negara lain yang kesuburan tanahnya jauh di bawah Indonesia. Pemerintah dengan berbagai alat kelengkapanya tentunya tidak akan tinggal diam dan akan terus melakukan berbagai program untuk terus memajukan pertanian dan perkebunan Indonesia, sehingga kebutuhan bahan pangan bisa tercukupi dari produksi dalam negeri. Atau dalam istilah populernya meningkatkan ketahanan pangan. Berbagai trobosan telah dilakukan pemerintah yang semuanya mengakar pada Peraturan Pemerintah No.17/2015 yang diundangkan pada 19 maret 2015 tentang ketahanan pangan. Peraturan Pemerintah tersebut sebagai pelaksana UU No.18/2012 tentang pangan.
 
Berbagai kendala dan problem yang ada di muka tidak boleh menghilangkan harapan dan impian kita untuk menjadikan negara yang kuat dan mandiri. Kita sebagai bangsa Indonesia harus terus berusaha kerja keras, kerja kerja dan kerja, sehingga cita-cita trisakti Sukarno bisa tercapai.
 
Demikianlah ulasan mengenai Desa Purwahamba, Kecamatan Suradadi [Tegal] dan Bahasannnya yang Dapat Kamu Cerna!. Adapun penulis dalam artikel ini diberi judul “Ideolagi Transmisi Kebudayaan Dan Merangkul Kembali Asa Trisakti Sukarno’ Semoga dapat bermanfaat, bagi setiap pembaca yang sedang mencari sumber informasi mengenai “Desa Purwahamba, Kecamatan Suradadi”. Trimakasih, baca juga tulisan lainnya;

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Desa Purwahamba, Kecamatan Suradadi [Tegal] dan Bahasannnya yang Dapat Kamu Cerna!"

Posting Komentar