Macam Perlawanan Rakyat Sulawesi pada Masa Perjuangan


Orang Indonesia tentunya mengetahui tentang Sulawesi. Masyarakat awam memahami bahwa fakta pulau Sulawesi adalah salah satu pulau besar yang ada di Indonesia. Beberapa masyarakat memahami bahwa warga Sulawesi khususnya suku bugis memiliki cara bicara yang unik.

Keunikan cara bicara tersebut terletak pada kata yang dibolak-balik. Bahasa Indonesia baku seperti “punya saya” jika diucapkan oleh orang Sulawesi menjadi “saya punya”. Bahasa yang unik tersebut tidak mempengaruhi dalam berkomunikasi karena kejelasan intonasi suara mudah dipahami.

Pulau Sulawesi


Pulau Sulawesi tanahnya sangatlah subur, hasil panen tiap tahun selalu baik tidak ada kendala. Pada musim kemarau, daerah Sulawesi masih mengalami pergerakan angin muson timur yang membawa awan dengan kandungan air cukup tinggi. Hal ini berdampak pada curah hujan yang stabil meski kondisinya terjadi di musim kemarau.

Kestabilan hasil panen daerah Sulawesi sejak dahulu kala menarik minat bangsa barat. Bangsa barat seperti Belanda menginginkan kekuasaan di tanah Sulawesi dikarenakan kesuburan tanah tersebut. Penjajahan tentunya menuai penolakan dari rakyat Sulawesi.

Bersama dengan bangsawan kerajaan, rakyat Sulawesi melakukan perlawanan terhadap para penjajah. Penasaran dengan ceritanya? Simak uraian materi sebagai berikut.

Perlawanan Rakyat


Perlawanan rakyat adalah cara masyarakat menolak pemerintahan Hindia Belanda pada masa penjajahan. Perlawanan bisa dilakukan dengan cara kooperatif. Namun selama ini perlawanan yang dilakukan oleh rakyat selalu terjadi menggunakan kekerasan.

Pemuda hingga orang tua kaum laki-laki pada masa tersebut dikerahkan tenaganya untuk melindungi daerah jajahan. Perjuangan ini semata-mata untuk membersihkan tanah Sulawesi dari jajahan Belanda.

Perlawanan Rakyat Sulawesi pada Masa Penjajahan

Makassar adalah ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Kota tersebut sekarang ini menjadi yang terbesar di Pulau Sulawesi. Kota yang menjadi pusat perdagangan tersebut menuai banyak sejarah. Berawalnya pusat perdagangan tersebut dimulai pada masa pemerintahan Inggris di Provinsi Sulawesi Selatan.

Inggris memiliki niatan untuk membeli rempah-rempah di Makassar dengan harga murah dan dijual ke Eropa dengan nilai tukar yang tinggi.

Berakhirnya kedudukan Inggris dengan pulangnya mereka ke tanah asal membuat Belanda ingin menguasai Makassar. Maksud dan niat Belanda tidak hanya melakukan urusan perdagangan. Tentu saja untuk mengeruk kekayaan alam Pulau Sulawesi.

Hadirnya Belanda di tanah Sulawesi hanya diakui oleh Kerajaan Gowa. Sementara Kerajaan Soppeng dan Wajo tidak ingin mengakui kedudukan Belanda, tetap menganggap mereka sebagai bangsa asing.
Belanda akhirnya mengundang para raja dari Kerajaan Soppeng dan Wajo untuk menilik kembali perjanjian Bongaya yang dibuat oleh Inggris pada tahun 1667.

Isi perjanjian Bongaya adalah bangsa barat berhak mengambil hasil bumi di tanah Sulawesi dengan syarat penukaran sejumlah alat tukar yang sesuai. Kerajaan yang menolak kedudukan Belanda menganggap nilai tukar yang ditawarkan Belanda tidak sesuai dengan harga hasil panen.

Akibat penolakan tersebut, Belanda menyerang kerajaan Tanette pada tahun 1824. Kerajaan Tanette adalah kerajaan kecil yang berada di utara Kota Makassar, sekarang daerah tersebut dikenal dengan nama Kabupaten Marros. Penyerangan tersebut dimenangkan oleh Belanda. Kerajaan Tanette kekurangan jumlah personil dan kemampuan berperang mereka masih sederhana.

Penguasaan Belanda atas Kerajaan Tanette menurut mereka bukan merupakan suatu pencapaian yang besar. Mereka menginginkan kekuasaan atas Provinsi Kalimantan Selatan seutuhnya. Belanda akhirnya melakukan perluasan kekuasaan dengan cara menyerang kerajaan Suppa.

Perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Suppa sungguh luar biasa. Rakyat Suppa sudah dipersiapkan selama bertahun-tahun untuk menghadapi serangan dari Belanda.

Kala itu, hampir seluruh pemuda laki-laki di Suppa mampu menggunakan senjata laras panjang dengan baik, mampu menguasai seni bela diri senjata tajam, dan dapat mengkoordinasi serangan perang dengan baik.

Tentara Belanda menuai kekalahan atas serangan pertamanya ke Kerajaan Suppa. Bukan Belanda namanya jika saat menyerang lalu kalah dan akhirnya diam saja. Mereka berniat untuk melakukan serangan yang kedua.

Serangan kedua dari Belanda dipersiapkan secara matang. Belanda meminta bala bantuan personil tentara yang berada di Pulau Jawa. Tak hanya tambahan armada perang dari tentara Belanda, bantuan juga didapatkan dari Kerajaan Gowa dan Sidenreng.

Kerajaan Gowa dan Sidenreng memang telah lama bersekutu dengan Belanda sejak perjanjian Bongaya. Belanda hanya membayar hasil panen yang sesuai dengan harga pada kedua kerajaan tersebut.

Hal itu memanglah taktik Belanda agar meraih sekutu, dan nantinya dapat membantu Belanda dalam menguasai kerajaan lainnya. Bantuan bala tentara, kerajaan Gowa dan Sidenreng, memperkuat serangan Belanda yang kedua terhadap Kerajaan Suppa.

Dengan ini Kerajaan Suppa menuai kekalahan karena kekurangan jumlah pasukan perang. Belanda akhirnya menduduki pemerintahan atas Kerajaan Suppa.

Oktober 1824, Kerajaan Bone yang sudah mempersiapkan pasukan secara matang menginginkan Belanda pergi dari tanah Sulawesi Selatan. Penyerangan ini dimulai dari pos-pos Belanda yang berada di bekas Kerajaan Tanette. Kerajaan Bone menyerang pos Belanda pada malam hari. Belanda menuai kekalahan dan Kerajaan Tanette kembali bersinar lagi. Kerajaan Tanette memutuskan untuk bekerja sama dengan Kerajaan Bone.

Kerajaan Bone makin kuat akibat adanya tambahan personil perang. Kerajaan Bone memiliki niat untuk membantu kerajaan lain dan bersatu untuk mengusir penjajah. Merasa tersudutkan, akhirnya Belanda meminta bala bantuan dari Batavia. Tentara Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Mayor Van Geen membawa bala tentara yang berjumlah 10.000. Jumlah tersebut tentunya sangat kuat.

Kekuatan tersebut semakin bertambah kuat mengingat Belanda mempunyai senjata perang yang paling mutakhir kala itu. Van Geen menyerang berbagai tempat-tempat di Sulawesi Selatan.

Kekuatan Belanda bertambah kuat lagi saat Raja Tanette malah berpaling memihak Belanda dan turut membantu menyerang Kerajaan Bone. Akhirnya kekuatan Kerajaan Bone melemah. Belanda kembali menguasai daerah Sulawesi Selatan.

Setiap manusia mempunyai rasa yang tidak pernah puas. Begitu pula dengan Belanda, meski telah menguasai daerah Sulawesi Selatan, mereka ingin menduduki kekuasaan di setiap belahan Sulawesi. Daerah jajahan mereka diperluas hingga daerah Sulawesi Tenggara.

Kerajaan yang berkuasa di Provinsi Sulawesi Tenggara kala itu tidak mempersiapkan pasukan perang dengan baik. Meski melakukan perlawanan, Kerajaan Konawe akhirnya jatuh ke tangan Belanda.

Perluasan daerah kekuasaan dilakukan oleh Belanda lagi, mereka menyerang Kerajaan Buton. Buton secara topografi adalah daerah kepulauan kecil. Masyarakat disana sangat mahir dalam berenang di laut lepas.

Tidak terbiasanya tentara Belanda melakukan peperangan di pesisir pantai, akhirnya serangan Belanda atas Kerajaan Buton sia-sia. Pertempuran tersebut dimenangkan oleh Kerajaan Buton.

Belanda tidak menyerah dalam melakukan perluasan kekuasaan. Kali ini yang jadi incarannya adalah Kerajaan Kolaka. Penyerangan ini kembali melibatkan Jenderal Mayor Van Geen yang memang terbukti teknik berperangnya handal.

Perlawanan masyarakat Konawe berujung kegagalan. Belanda berhasil menduduki Kerajaan Konawe. Dan pada akhirnya Belanda berhenti untuk memperluas daerah jajahan.

Dari cerita ini kita tahu bahwa masyarakat Indonesia pada masa itu berjuang mati-matian untuk mengusir para penjajah. Namun Ir. Soekarno pernah berkata “perjuanganku mudah karena melawan penjajah, perjuangan kalian akan susah karena melawan bangsa sendiri”. Untuk itu janganlah kita saling terpecah belah karena akan sulit disatukan kembali. Sekian artikel tentang macam-macam Perlawanan Rakyat di Sulawesi, semoga bermanfaat. Terima kasih!

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Macam Perlawanan Rakyat Sulawesi pada Masa Perjuangan"

Posting Komentar